Minggu, 17 Desember 2017

#4 Lavenda: Rollana Vocalista Choir

Seminggu setelah konser, aku merasakan hal yang benar – benar baru dalam hidupku. Dimulai dari Lissa, yang sudah bisa terbuka kepada orang lain, dan teman baruku Ale dan Zahwa. Sekarang aku lebih sering berempat dengan teman – temanku. Kalau anak cowok, aku punya Biyu, Arka, dan Sai.

Abiyu Armijin, cowok dengan postur tubuh tak terlalu tinggi tetapi tampak mencolok dengan rambutnya yang seperti batok kelapa yang dibalik di atas kepalanya. Aku ketemu dia di “Rollana Vocalista Choir Audition”, yaitu sebuah audisi untuk merekrut anggota paduan suara sekolah. Sedangkan nama timnya lebih sering disebut Rollana Vocalista Choir (RVC). Dia menyenangkan sekali, bahkan dia cowok paling menyenangkan yang pernah aku kenal. Dia menerimaku apa adanya, bahkan sejak hari pertama perkenalan di RVC.

Sehari setelah konser Madrigals of Love, entah kenapa aku mendapatkan daya tarik tersendiri pada not – not balok yang tersusun secara sistematis dalam sebuah partitur bertingkat. Tiba – tiba aku menghadiri audisi dan dua hari kemudian aku terpilih dengan suara Soprano Koloratura. Jangkauan nada 3 Oktaf 3 nada, dari D3 ke G6. Aku semula tidak pernah membayangkan bahwa suaraku bisa setinggi ini. Mungkin aku sesekali menyanyi lagu Sarah Brightman dan Andrea Bocelli yang berjudul Time To Say Goodbye, tetapi dengan nada asli yang bagiku masih posisi yang nyaman di tenggorokan.

Di RVC ini aku mengenal seorang pelatih asal Yogyakarta bernama Tirta. Anggota paduan suara biasa memanggilnya Matir, atau singkatan dari Mas Tirta. Sejujurnya, aku agak sebal melihat caranya bersikap seolah – olah ngeboss dan paling bisa. Juga caranya berbicara yang kasar dan nadanya yang tinggi, tidak seperti orang Jogja pada umumnya. Menyebalkan! Tak jarang aku memplesetkan namanya menjadi Amatir, Montir, Kentir, Mati, dsb. Tentu saja aku hanya membatinnya – tak pernah mengucapkan itu semua.

“Kak Fia, kalo not yang kecil ini namanya apa? Terus gimana ngebunyiinnya?” Tanya Biyu padaku, yang sedang sibuk menerjemahkan not – not balok bertingkat ke dalam not angka. Dia masih lebih muda satu angkatan dibawahku.

“Aku udah bilang, aku masih 15 tahun. Kamu seumuran masa’ manggil aku ‘Kak?’”

“Soalnya, -eh. Nggak enak manggil Fia.” Ekspresinya menyeringai padaku.

“Cengengesan, Lu. Dasar!”

“Hahaha,” Dia malah tertawa melihatku berekspresi serius. “Kak Fia udah bisa ngomong bahasa gaul!”

Tanpa pikir panjang, aku segera meraih selebaran partitur tebal di tangannya. “Oh, yang ini?” Kataku sambil menunjuk satu not kecil yang terselip diantara yang lain, memiliki banyak bendera, dan saling berkaitan. “Ini namanya Appogiatura. Sejenis cengkok. Kaya gini Sebyaa~r ena…”

“Fia, udah sejak kapan ikut padus?” Tanya Biyu.

“Dari SMP.” Aku terlalu berkonsentrasi menerjemahkan partitur di tanganku sehingga menjawab semua pertanyaan dengan ketus.

“Terus gimana awalnya bisa tertarik?”

“Aku ga tau, sih. Tiba – tiba tertarik aja. Aku juga bisa main piano, cipta lagu. Aku juga suka seni. Maybe that’s why I’m so interesting about it.”

“Bilang pake bahasa gue-lo, dong!”

“Suka – suka aku, dong.” Kataku sambil tersenyum melihatnya. Dari awal aku melihatnya, rasanya aku merasa berarti. Aku suka cara dia bicara, memperlakukan orang lain, aku suka kepribadiannya, dan lain – lainnya. I like his personality, and I hope he will be my best friend soon. “O iya, menurutmu pelatih padus kita yang satu ini gimana sih, orangnya?”

“Biasa aja, sih. Tapi kadang-“

“Sebel! Gua juga!” Kataku memutus kalimatnya.

Tiba – tiba ada suara – suara keras langkah kaki. Seluruh Anggota RVC berbondong - bondong memasuki ruang seni. “Cepat! Cepat! Matir datang!” Aku dan Biyu juga bergegas masuk, sebelum ada singa mengaum. :D

Semua langsung berbaris sesuai pengelompokan suara masing – masing. Aku berbaris di depan ujung paling kanan, sedangkan barisan alto berada di sebelah kiri barisan sopran. Tenor dan Bass mengikuti di belakangnya.

Matir langsung menyentuh keyboard yang sudah disiapkan di depan. “Selamat siang semuanya. Untuk mengawali latihan hari ini, mari kita berdo’a menurut keyakinan masing – masing. Berdo’a mulai.”

Semua orang di ruangan langsung menundukan kepala, dan mulai berdo’a. Dalam hati aku mulai membaca Al Fatihah dan do’a untuk belajar dengan cepat.

“Berdo’a selesai.” Semua kepala yang tadinya tertunduk langsung kembali ke posisi semula. “Stretch!” Kata Matir, menginstruksikan kami semua untuk pemanasan. Semua orang di ruangan langsung melakukan pemanasan dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Setelah pemanasan, kami semua dituntun untuk mengikuti tangga nada arpeggio “Do-Mi-Sol-Do-Sol-Mi-Do”, dengan huruf vokal “A – I – E – O – U – E – A” yang nada dasarnya dinaikkan satu demi satu dengan menggunakan keyboard.

“Kurang kompak!” Matir berteriak menyemangati.

“A – I – E – O – U – E – A” Terdengar bunyi ‘teng-teng’ keyboard setelah bunyi vocal, untuk menggiring suara ke nada yang lebih tinggi.

“Lebih keras lagi!”

“A – I – E – O – U – E – A”

“Diafragmanya kamu coba buka. Nah, sip!”

“A – I – E – O – U – E – A”

“Diafragma!!!”

“A – I – E – O – U – E – A” Mulai terdengar suara helaan napas tersengal tanda tidak kuat dari anak – anak. Satu per satu anggota suara Bass, Alto, dan Tenor mulai berhenti menyanyi. Sedangkan suara Sopran berhasil mencapai oktaf ketujuh.

Matir pun menekan keyboard kembali ke middle C. “Nah, sekarang turun,” Latihan suara pun dimulai dengan cara yang sama, hanya saja kali ini nada diturunkan satu demi satu. Suara Bass berhasil mencapai oktaf kedua.

Review latihan pengambilan nada yang tadi? Ada yang kesulitan?” Kata Matir dengan ekspresi wajah galaknya yang klasik. Seketika, semua menggelengkan kepala. “Apa?! Tidak ada? Oh, bagus.” Ekspresinya mulai ketus. Aku sendiri mulai takut memandangnya, tapi kucoba untuk berdiri tegap seakan tak merasakan apa – apa. “Rollana, sekolah favorit, juara paduan suara nasional, tapi kalian sombong sekali, ya?” Dia mulai terlihat emosi. “Asal kalian tahu? Suara kalian tadi itu jelek sekali! Kemampuan mengatur diafragma, blending, pitch control, semuanya buruk!”

“Pssstt…” Aira, teman sebelahku memanggil dengan bisikan kecil saat Matir sibuk mengomentari suara bass di belakang.

“What?” Sahutku.

“Kita ga salah pilih pelatih, kan?” Kata Aira.

“Kita lihat aja dulu. Siapa tahu dia punya sisi baik yang menyenangkan.” Jawabku.

“Menyenangkan apaan? Dari tampangnya aja udah horror. Bulu kuduk gue sampe merinding dari tadi, sumpah!”

“Positive thinking aja, mungkin dia lagi laper atau ada masalah sama keluarga.”

“Fia, you know that? Pelatih professional ga mungkin bawa – bawa masalah keluarga ke pekerjaanya.”

“…dan kalian suara alto. Kalian tidak bisa mengimbangi sopran- (bla…bla…bla).” Suara Matir terdengar samar – samar di telingaku. Karena aku memang tak ingin mendengarkannya.

Aku pun melanjutkan bicara. “Iya, gue bener. Dia emang mulai lapar.” Aira mulai menatapku, mendengarkan dengan seksama. “Biyu pernah bilang kalau pelatih kita yang satu ini gak doyan cokelat. Bahkan dia phobia banget sama yang namanya cokelat.”

“Oh…” Sahutnya seraya mulai tersenyum. “Did you mean, dia kekurangan asupan ‘Snickers’? Hahaha…”

“Tau aja dah, kamu.” Aku dan Aira mulai tertawa.

Lalu tiba – tiba ada sepasang mata besar melotot di depan wajahku dan Aira. Seluruh pandangan tertuju pada kami berdua. Badanku langsung terasa kaku dan kebas. Aku yakin Aira juga merasa begitu.

“Coba ulangi pembicaraan kalian barusan!” Kata Matir sambil memelototkan mata.

“Hmmm… kita cuma bercanda kok. Iya kan, Fia?” Kata Aira seraya menginjak kakiku untuk memaksaku mengatakan ‘iya’.

“Iya. Tadi saya cerita tentang toko cokelat di sebelah. Kan baru buka. Saya punya rencana buat ngajak dia kesana.”

“Oh, toko cokelat, ya?” Aku dan Aira mengangguk – angguk. “Perasaan saya tidak pernah menemukan toko cokelat di sekitar sini.”

Aira menginjak kakiku lagi. Sedangkan aku hanya bisa menahannya. “Aira, plis…” bisikku padanya.

“Aku tahu kalian berbohong. Sana push-up lima belas kali plus lari – lari keliling lapangan 15 kali! Kalian berdua dan… Rizda! Tadi kamu juga ikut ketawa di belakang.”

“Loh, saya, pak? Saya ga ikut – ikutan.” Kata Rizda, yang posisi berdirinya dibelakangku persis.

“Bodo amat. Kalian bertiga keluar!” Kata Matir. Aku, Aira, dan Rizda langsung menuju ke tengah lapangan untuk melakukan apa yang diperintahkan.

Aku tahu sangat sulit untuk berlari jam dua siang dengan kondisi terik. Tapi, biarlah. Nantinya juga semuanya akan merasakan hal yang sama. Paduan suara juga memerlukan fisik yang kuat, bukan hanya suara bagus dan talenta yang besar.

“Satu… Dua… Eh, girls!” Tiba – tiba muncul sebuah ide di kepalaku. “Kalian udah push up berapa kali?”

“Lima kali.” Kata Rizda.

“Udah ga usah dilanjut.” Kataku. Mereka berdua menunjukkan ekspresi keheranan. “Tadi kan disuruh 15 kali. Kita disini bertiga, jadinya dibagi lima-lima. Larinya juga dibagi – bagi.”

“Lo ngajarin kita curang, Fia?” Sahut Aira.

Mimik mereka berdua terlihat aneh. Aku berdeham dan mencoba menjelaskan. “Kita nggak curang, kok. Ini strategi. Bukan kebohongan. Kalau dia nanya sesuatu, kita tinggal jawab dengan jujur. Tapi diakali sedikit. Tahu kan, maksudku?”

“I see…” Jawab Aira. Sedangkan Rizda hanya mengangguk – anggukan kepala.

Aku pun mengangkat telapak tanganku dengan semangat. “Tos, dong!” Lalu mereka berdua menjawab dengan menepukkan telapak tangan mereka ke telapak tanganku. Dimulai dengan Aira, kemudian Rizda.

Setelah menyelesaikan hukuman sesuai dengan kesepakatan, aku, Aira, dan Rizda langsung kembali kedalam ruang seni untuk melanjutkan latihan.

Tapi belum sempat melangkahkan kaki, kami bertiga sudah melihat segerombol anggota paduan suara yang lainnya sudah berbaris di pinggil lapangan.

“Hey, kalian bertiga udah selesai?” Tanya Matir.

“Sudah dong, Matir!” Kata Rizda seraya memasang senyum anggunnya.

Matir langsung memasang senyum balasan, lalu merogoh kantongnya dan mengeluarkan sejumlah uang. Entah kenapa batinku langsung terpana melihat apa yang dipegangnya.

Aku meresponsnya dengan spontan, “Buat kita, Matir?” dan langsung menutup mulutku saat itu juga, sementara Aira dan Rizda memandang ke arahku.

Lalu Matir menjawabku dengan ketus, “Iya, buat kita.” Seraya menyerahkan seonggok uang itu pada kami bertiga. Aira langsung menerima uang itu. Aku langsung paham maksudnya, dan menarik tangan mereka berdua, mengajak menuju koperasi sekolah.

Sementara Matir berbalik arah untuk memberikan instruksi pada anggota lainnya untuk lari keliling lapangan sambil menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka” dalam tempo sedang dan staccato.

            “Buat kita, maksudnya?” Rizda masih tidak mengerti.

            Tiba – tiba Matir menoleh ke arah kami. “Masih disini kalian? Dasar bodoh kalian! Gitu aja nggak ngerti! Pergi sana beliin sesuatu buat teman – teman kalian!”

            “Kalian berdua ini, ih!” Aku menggerang kesal sambil menarik tangan mereka pergi secepatnya. Di sepanjang perjalanan, kami mengobrol tentang diri masing – masing. Disaat itulah kami saling mengenal, dan aku rasa suatu saat kami bisa saling akrab satu sama lain.

            Nama panjang Aira adalah Zahira Al – hambra. Dia seumuran denganku, juga dia adalah anak akselerasi waktu SMP, di Rollana Junior High School. Dia adalah anggota paduan suara paling muda di angkatanku.

            Sedangkan Rizdamaya Lintang Herfadanty, berusia 16 tahun. Dia tidak banyak bercerita tentang kehidupan pribadinya, namun dia sangat – sangat skeptis terhadap kehidupanku. Tentang bagaimana aku menjalani hidup seorang diri, dengan seorang kakak dari ayahku yang berprofesi sebagai dokter spesialis otak, yang punya pekerjaan sampingan sebagai –entah apa, dan pulang seminggu sekali. Tidak punya saudara, atau banyak teman. “Bagaimana aku bisa betah?” dan sebagainya.

            “Sejujurnya, terkadang aku tersiksa karena rasa iri. Bahkan dengan melihat anak kecil yang bahagia bersama orang tua mereka. Diajari jalan, disuapin, diajak bermain, bertengkar dengan saudara.” Kataku sambil menahan tetesan airmata yang mulai menumpuk diantara tulang mata. “Sedangkan aku belajar semuanya dari tempat penitipan anak, yang aku ingat.”

            “Terus lo nggak haus kasih sayang, gitu?” Tanya Rizda kesekian kalinya.

            “Seringkali.” Kali ini aku menatap matanya, kemudian menghela napas panjang dalam – dalam. “Yah… tapi aku selalu kuat, kan?”

            “Kamu hebat, Fia.” Jantungku berdetak senang ketika Aira memujiku.

            “Bisa aja kamu. Tumbenan sekali ini pakai aku-kamu ngomongnya, haha.” Kataku.

            “Itulah pengaruh dari Anindita Alifia!”

            Setelah itu kami mengangkat dua dus air mineral gelas bersama – sama. Sebenarnya aku kesal, kenapa harus pekerjaan ini dilakukan oleh cewek? Apa 18 anggota laki – laki belum cukup untuk mengangkat 2 dus air?

            Di lapangan, anggota paduan suara yang lain sudah selesai melaksanakan latihan fisik. Mereka asyik mengelap – ngelap keringat, sedangkan kami bertiga datang terlambat karena terlalu asyik mengobrol. Alhasil, kami mendapatkan omelan dari Matir sekali lagi.

            Tapi overall, hari ini latihan sangat menyenangkan. Dari sebuah hukuman paling menyebalkan pun, aku masih bisa mendapatkan teman baru yang asyik dan pengertian. Aku berharap suatu saat mereka akan menjadi sahabat – sahabatku.

            Latihan pun dilanjutkan dengan lagu “Panorama” aransemen F.A. Warsono. “Indonesia… Indonesia… tanah air tercinta. Indonesia… Indonesia… tumpah darah pusaka…”

Previous: Eps. 3 Madrigals of Love
Next: Eps. 5 (?) UPCOMING

Tidak ada komentar: